“Kalau besok gulai nangka masih sehambar ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar gulai kambing dan gulai rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
***
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampong ini, bagaimana kalau tanggung jawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti.”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah.”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orang tua memang selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orang tua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial akan segera memboyongnya ke rantau. Makaji tetap akan mempunyai kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di rumah makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan.
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya. Mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang, atau tambak ikan sebagai agunan. Dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu. Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” bentak Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung juga di telinga Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami berjodoh.”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan.
Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat. Adik-adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tetapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tetapi tak seorang perempuan pun yang mampu meluluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
***
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai pria.
Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tetapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Terdengar kabar bahwa perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan mencarikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang bila tidak “macam-macam” tentu kariernya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tetapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tidak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekadar menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat. Bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan, sudah tergesa pulang.
“Gulai kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah gulai rebungnya encer seperti kuah sayur toge. Kembang perut kami dibuatnya.”
“Masakannya tak mengenyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu rasa masakan hasil olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu.”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini.”
***
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa terpiuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.
SOAL
1. Identifikasilah struktur teks yang ada dalam cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad!
2. Identifikasilah unsur kebahasaan yang ada dalam cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad!
3. Identifikasilah unsur intrinsik yang ada dalam cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad!!
1.
Struktur
cerpen “Juru Masak”
karya Damhuri
Muhammad
No |
Struktur
Teks |
Fungsi Tiap Struktur Teks |
1 |
Abstrak |
Pada tahapan ini, pengararng memberikan ringkasan
atau inti cerita yang akan dikembangkannya menjadi rangkaian peristiwa yang
dialami tokoh imajinasinya. Damhuri Muhammad menggambarkan seorang juru masak
bernama Makaji yang sangat terkenal di kampungnya. Tanpa campur tangan dalam
meracik bumbu masakan, sebuah perhelatan akan dinilai tidak sukses karena
tidak berhasil menyuguhkan para tamunya makanan lezat. Begitulah pentingnya
kehadiran Makaji dalam dunia masak-memasak di kampong itu, sehingga tidak ada
yang bisa menggantikannya. |
2 |
Orientasi |
Pada tahapan orientasi, pengarang menceritakan latar
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana yang terjadi dalam sebuah
peristiwa dalam cerpen. Latar digunakan penulis untuk menghidupkan sebuah
cerita dan meyakinkan pembaca. Dengan kata lain, latar ini mengekspresikan
watak, baik secara psikis maupun fisik. |
3 |
Komplikasi |
Tahapan ini berisi urutan kejadian, dan setiap
kejadian-kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa satu
disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pada cerpen juru
masak, Damhuri Muhammad menceritakan Azrial pergi merantau karena ia dihina
oleh kelluarga Ronggogeni. Maka dari itu dia merantau untuk merintis karirnya
dan menjadi orang sukses. |
4 |
Evaluasi |
Pada tahapan ini, konflik yang biasanya muncul pada
setiap kejadian yang terdapat dalam komplikasi bisa diarahlkan/diatur menuju
ke tahapan selanjutnya. Sehingga komplikasi tersebut bisa terlihat
tahap-tahap penyelesaiannya dari konflik yang muncul tersebut. Dalam cerpen “Juru
Masak”.,ketika Azrial ingin melupakan Renggogeni, ia kemudian hengkang dari
kampung dengan membawa luka hati. |
5 |
Resolusi |
Pada tahapan ini, resolusi menerangkan tentang
sebuah solusi dari konflik yang terjadi.Damhuri Muhammad menggambarkan
seorang yang bernama Azrial. Azrial adalah seorang anak juru masak yang
bekerja sebagaitukang cuci piring di rumah makan Jakarta. Namun, karena kerja
keras dan kegigihannya, sekarang Azrial menjadi orang Lareh Panjang yang
sukses dengan mempunyai enam rumah makan dan dua puluh empat anak buah. |
6 |
Koda |
Pada tahapan terakhir ini, koda berfungsi untuk
menerangkan akhir dari cerita sebuah cerpen. Pada cerpen karangan Damhuru
Muhammad ini, Azrial sekarang telah sukses, dan dia berkeinginan mengajak
ayahnya (Makaji) untuk tinggal bersamanya di Jakarta dan menghabiskan masa
tuanya disana dengan Azrial. |
a. Antitesis
Contoh dalam kalimat:
Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya.
b. Retorik
Contoh dalam kalimat:
Orang tua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua?
c. Metafora
Contoh dalam kalimat:
Karena bumbu bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu
d. (ironi) sindiran
Contoh dalam kalimat:
"kuah gulai rebungnya encer seperti kuah sayur toge. kembang perut kami dibuatnya."
e. Hiperbola
Contoh dalam kalimat:
merah padam muka azrial mendengarnya
3. Unsur intrinsik yang ada dalam cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad
Unsur Intrinsik
a. Judul : Juru Masak
b. Tema : Keahlian dan perjuangan mencapai keberhasilan
c. Alur : Campuran
Alur mundur
Saat Azrial mengingat perjuangannya mendapatkan Renggogeni dan perjuangan saat awal merantau ke Jakarta.
Alur maju
Peristiwa-peristiwa selain yang disebutkan pada alur mundur.
d. Sudut Pandang Orang ketiga serba tahu
karena penulis tidak menceritakan tentang dirinya, tetapi menceritakan tentang kisah orang lain.
“Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.”
e. Latar/Setting
1. Waktu
· Rumah Makaji
- Jakarta
· Rumah makan di Jakarta
· Perkawinan Gentasari dan Rustamadji
3. Suasana
· Kecewa : (Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji)
· Bingung : (ketika rombongan keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji)
· Kesal : (“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.)
· Sedih: (dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati.)
· Bangga : (Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan)
a. Makaji :
b. Azrial :
· Baik hati : ( Bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah.)
· Pendendam : ( Dengan maksud mengacaukan perhelatan Mangkudun, Makaji diboyong ke Jakarta oleh Azrial.)
· Pekerja keras : ( Awalnya ia hanya tukang cuci piting di rumah makan milik seorang perantau, kini Azrial sudah jadi juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak buah.).
· Ulet : rela ia meranatu ke negeri orang untuk memendam lukanya (lamarannya ditolak) dan kemiskinan, namun karena keuletannya ia menjadi orang terkaya yang sukses di negeri rantau. Ia sama-sama berlatar belakang budaya Minang, kampung Lerah Panjang.
c. Mangkudun:
· Sombong : (“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” bentak Mangkudun)
· Keras kepala : (“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”)
d. Ranggogeni:
· Baik hati : (“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh.Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”)
· Sabar : karena mau dijodohkan dengan pilihan ayahnya tanpa Ia mencintai orang itu.
· Pandai : (Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat.)
e. Sutan Basabatuah
· Angkuh : (“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.)\
g. Sudut Pandang
Sudut Pandangnya yaitu orang ketiga serba tahu
Karena pengarang sudah mengetahui apa yang akan terjadi jika tidak ada Makji.
h. Amanat
· Janganlah memaki seseorang jika suatu saat akan membutuhkannya.
· Jangan mempunyai rasa dendam kepada siapapun yang telah menyakiti tapi berpikirlah kedepan.
· Jaga, hormati, dan lindungi orangtua kita.
· Kunci kesuksesan yaitu adanya usaha, kerja keras, dam kegigihan.
· Hilangkan sifat sombong yang akan menjerumuskanmu pada penderitaan.
· Jangan memaksakan sesuatu yang tak di kehendakin karena akan berakibat buruk kedepannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar